100 Tahun Setelah Aku Mati ( Bagian 44 Anak Sepertiku )



Kerlip lampu kota terlihat sangat indah dari ketinggian, maskapai bernama sebuah negara dari timur tengah itu sedang membawaku terbang menuju tempat dimana saya menuntut ilmu, saya tidak tau sedang melewati daratan sebelah mana, mungkin saya masih melayang di negara bagian paling utara benua Australia, saya mengalihkan perhatian ke sebuah buku yang saya bawa, mencoba mengusir kejenuhan karena harus duduk selama beberapa jam..
Hari itu adalah hari keberangkatanku kembali ke melbourne, dengan berat hati saya sekali lagi meninggalkan kampunghalaman beserta semua hal yang saya cintai.
“mas harus janji jaga diri”
Perkataan risa itu memaksaku untuk membuat janji baru denganya, ya saya akan sebisa mungkin menjaga diri . perpisahan yang pasti akan berlangsung lama yang menyisakan rindu, mungkin taun ini saya tidak akan merasakan lebaran lagi di tanah kelahiranku, liburan yang segera berakhir membuatku tidak bisa berlama-lama dijogja, saya harus segera kembali untuk menjalani masa perkuliahan yang sbentar lagi dimulai...
Ingatan saya kembali kepada kejadian tempo hari, “datanglah saat 100 tahun setelah aku mati” jika dihitung masih beberapa tahun lagi... tapi sampai sekarang saya belum bisa menemukan jawaban dari teka teki Sari,...

****
Rasanya sama persis saat pertama kali saya datang ke Melbourne, dingin... adalah hal pertama yang menyambutku setelah turun dari pesawat, saya sampai di melbourne dini hari dan hujan rintik semakin menambah parah kondisi badanku yang mulai menggigil. 
Setelah beberapa menit perjalanan akhirnya sampai juga dihunianku
Saya memasuki kamar, sedikit membenahinya walaupun sebenarnya tidak berubah semenjak ditinggal selama 3 minggu, saya membongkar tas dan mengeluarkan isinya, beberapa bungkus snack, makanan instan dari tanah air, sedikit pakaian yang saya beli di malioboro juga turut saya keluarkan..
Saya tersenyum melihat sebuah wadah bekal berisi sambal trasi, “dasar anak itu” gumamku pelan, beberapa kali saya mengeluh karena jarang sekali menemui makanan dengan sambal disini, kecuali masakan asia, dan risa tanpa diminta menyediakanya untuku.
“thanks untuk sambalnya nduk  “ saya mengirim pesan singkat kepada risa, sekaligus mengabari kalau saya sudah sampai dengan selamat.

Diluar kamar masih sepi, beberapa temanku belum kembali dari liburanya,hanya si wayan dan 3 orang lain yang liburan ini tidak pulang, sedangkan dewi.. entahlah, dia sudah kembali 2 hari yang lalu tapi setibanya saya disini saya belum bertemu denganya, dewi juga belum membalas pesan smsku.

saya merebahkan diri dikasur, sekedar mengistirahatkan tulang punggungku yang terlalu lama merasa pegal karena duduk terus di pesawat, sambil mengecek yahoo mesenger yang mungkin ada beberapa pesan yang belum saya baca, cukup lama juga saya asik dengan hp pda ku, sampai sebuah ketukan pintu dan suara panggilan seorang perempuan memanggil namaku,
“ehh dewi.. dari mana aja kamu? Tak cariin dari tadi juga” ucapku menyapa dewi yang sudah berada di ambang pintu, dia mengenakan jaket mantel tebal berbulu, sebuah kupluk membungkus kepala danrambutnya yang panjang, tanganya menggenggam 2 plastik besar, tampaknya dia baru saja berpergian.

“dari belanja zal,lagi pengen masak aku, kamu mau??” 

“mau dong, kamu mau masak apa??”

“sayur asem, sama ikan asin,tadi juga beli tahu sama tempe nih”

“loh?? Disini yang jual ikan asin, sama tahu tempe dimana wi??”

“yeee, udah lama disini kok gak hapal2 sih zal?, itu lohh kan ada minimarket asia di samping kings park”

Saya mengerutkan dahi sembil sedikit mengingat,yang diakhiri dengan anggukan tanda mengerti,
Saya beranjak dari kasur sambil menyaut plastik yang ada ditangan dewi. Dan membantu membawanya ke dapur, hari itu saya lewati dengan mememasak bersama dewi, kami memasak dengan porsi banyak, 
“buat temen2 yang gak pulang zal, biar kangenya sembuh dengan makan masakan rumahan”
Begitu jawabnya, ahh dewi ini memang sangat baik,perhatianyakepada orang lain sangat tinggi. Tak heran dia disenangi banyak orang disini, beberapa kali saya juga mendengar rumor kalau dewi didekati mahasiswa jurusan lain yang katanya naksir dia, pantaslah orang sebaik dan secantik dewi disukai banyak orang.
Hari itu kami makan besar bersama wayan, wardana, novita, dan miska.mereka tampak senang melihat masakan yang kami buat, sayur asem, tahu tempe goreng, ikan asin, sayur lodeh, dan sambal buatan risa turut saya keluarkan untuk dinikmati bersama.
Kami makan sambil ngobrol tentang kehidupan kami dan sebagainya, cukup seru juga wayan adalah orang bali yang sangat lucu, mengingatkanku pada andi sahabatku di masa sekolah, kemudian wardana dia orang jawa timur penggila fitnes, dia adalah rekan nge gymku disini, sedangkan novita dan miska mereka berdua berasal dari pulau sumatra, obrolankami berlangsung menyenangkan, beberapa kali saya terbahak2 mendengar lelucon dari wayan, dengan logat balinya dia sangat fasih melempar lelucon, terutama komentarnya mengenai dosen2 pembimbing kami.

Entah berapa lama kami berbincang, sampai sebuah ide terucap oleh novita
“jalan-jalan yukk”
Segera saja ide itu disambut oleh saya dan teman2 lain, aneh juga hari itu saya tidak merasacapek setelah perjalanan jauh dari indonesia, kami akhirnya setuju untuk berjalan-jalan ke collin street dimana itu adalah tempat wisata yang dibuat dengan bangunan2 klasik yang berjejer sepanjang jalan, kami berangkat siang itu juga dengan sedikit persiapan, kami hanya berganti baju dengan baju yang lebih tebal, tak lupa masing2 dari kami mengenakan jaket, setelah berkumpul kami langsung berangkat menuju halte yang hanya beberapa meter dari hunian kami, beberapa kali kami berpindah bis dan kemudian kami memilih menggunakan tram, sistem transportasi di melbourne sudah sangat maju, kita tidak perlu mengeluarkan dollar untuk membayar tarifnya, kami dibekali dengan selembar kertu ajaib berwarna hijau bernama Myki card, jika teman2 berkunjung jangan sekalipun pergi tanpa menggunakan kartu ini, karena jika berpergian tanpa myki card kalian bisa kena denda yang jumlahnya lumayan banyak, setelah beberapa lama akhirnya kita sampai di collins street, sebuah tempat yang boleh dikatakan malioboronya melbourne, bangunan2 tua bergaya barat berjejer dan di kanan kirinya adalah surga bagi orang yang gila belanja, banyak yang menjual mulai dari pakaian dan segala pernak pernik, sepanjang mata memandang juga banyak cafe dan pubs yang menjajakan kuliner dari seluruh dunia, saya tidak henti2nya takjub dengan benua ini, akankah negaraku bisa dikelola serapi ini?, bisakah saya mengajak orang2 dinegaraku se tertib ini?, sedikit pertanyaan aneh terbesit diotaku, akhir2 ini saya merasa berhutang dengan negara, kenapa? Karena saya sudah bisa sampai tahap ini dengan bantuan negara, dimana uang yang saya gunakan untuk menuntut ilmu dan kegiatan sehari2 saya adalah hasil dari pajak yang dibayarkan oleh orang2 yang membayar pajak negara, saya beberapa kali merenung dan membuat janji kepada diri sendiri, bahwa suatu saat akan ada saatnya saya membalas jasa kepada negara dan masyarakat, paling tidak masyarakat lingkunganku sendiri.
Novita, miska dan dewi, trio cewek itu asik menyusuri jalan dengan berfoto di masing2 spot foto, oh iya tukang fotonya adalah wayan, beberapa kali dia menggerutu karena dia malah tidak ada fotonya, sementara saya yang memang tidak hobiberfoto hanya duduk2 sambil melihat teman2ku berpose,
Memang bukan wayan namanya kalau tidak cerewet, dia berhasil memaksaku untuk ikut berpose dengan pose yang aneh2, mulai dari nungging, pose diperbeutkan novita dan miska, pose saya seolah memberikan bunga pada dewi dan pose2 konyol lain yang membuat saya terlalu malu untuk menulisnya disini.

waktu sudah semakin sore, kegiatan seru saya pada hari itu seperti menghapus rasa lelah saya yang mulai terasa. Kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah stand minuman dipinggir jalan, wayan memesan bir kaleng, sedangkan saya dan yang lainya meminum limun. 
Semuanya berjalan baik, wayan masih dengan kekonyolanya yang sekarang sedang asik mengganggu wardana dan novita yang memang dikabarkan pacaran, sedangkan miska sedang asik berkutat dengan handphonenya, kemudian dewi sedang sibuk melihat hasil jepretan gambar di kamera poket yang saya bawa. Awalnya dia tersenyum terus sambil mengomentari hasil gambar, tapi ekspresinya mendadak berubah serius, sorot matanya menunjukan tanda tanya dibenaknya, saya yang awalnya hanya memperhatikanyamenjadi penasaran apa yang sedang diamati dewi.

“wi, kenapa?, kok serius banget?”
Dewi hanya menggeleng pelan, matanya masih sibuk menatap screen kamera itu,
“wi??” tanyaku sekali lagi.

Dewi menoleh kearahku, sambil berbisik dia menyerahkan kamera itu dan menunjukan hal yang menarik perhatianya kepadaku.

“ada yang aneh zal”
Ucapnya dengan berbisik pelan sambil menggeser posisi duduknya lebih mendekat kepadaku. Dewi menunjuk beberapa gambar dimana ada kami berpose bersama, tidak ada yang aneh.. kecuali satu hal.. ada seorang anak lelaki yang kami tidak tau siapa itu, baik saya dan dewi tidak menyadari kehadiran anak yang mungkin usianya 5-8tahun itu, dia berada di belakang kami hanya berdiri sambil menatap dengan tatapan kosong di kamera.
Saya dan dewi saling berpandangan dengan bingung, saya tau hal yang membuat dewi bingung adalah pertanyaan. Benarkah itu anak manusia atau.........
Saya dan dewi sepakat tidak memberitahukan hal ini kepada teman2 yang lain, menghindari pertanyaan dan tanggapan2 dari teman yang lain.

Pertanyaan timbul dipikiranku, kenapa dengan anak ini?? Dia bukan anak seperti pada umumnya, pada satu gambar yang terekam dia berada di pinggir kami sambil melihatku, tidak mungkin anak ini adalah orang yang kebetulan lewat, karena dia terabadikan secara tidak sengaja dalam banyak gambar. Lama saya dan dewi saling membisu sambil berbisik, sampai ajakan miska untuk pulang kerumah membuat saya menyimpan rasa penasaran saya.

Kami sedang berjalan menuju halte pemberhentian bus terdekat, teman2ku yang lain berjalan didepan sedangkan saya dan dewi masih berdiskusi tentang anak pada potret itu.

“ini gak biasa kan zal?, lihat dia memiliki ...... tapi dia anak2 biasa tapi kenapa kok....”

“gelap”

“iya, gelap banget”

Gelap yang kami maksudkan adalah semacam aura dari anak ini, sseddikit mengenai kemampuan saya dan dewi adalah merasakan “hawa” atau bisa juga disebut aura, tiap orang memiliki warna sendiri, walaupun dalam medis belum ada teori yang sungguh mampu mengupas tentang aura tapi saya bisa merasakanya, anak itu seperti memiliki kebencian yang sangat, dia seolah memiliki keinginan yang sangat besar akan balas dendam, itu kenapa kami menyebutnya “gelap” ..

“apa dia sama seperti kita?? “

Pertanyaan dewi mengganggu pikiranku, tapi masuk akal juga, beberapa orang dengan kasus extra dimensional seperti kami memiliki kemampuan mengidentifikasi orang lain, tentunya mereka mampu melihat orang yang “senasib” dengan mereka. Kemampuan yang saya dan dewi tidak miliki.

“tidak”

“trus apa dong?”

“dia lebih spesial dari pada kita”


Obrolanku dan dewi terhenti saat wayan berteriak keras memanggil kami yang terpisah lumayan jauh karena berjalan lambat, kami buru2 mengejar yang lain dengan setengah berlari, baru beberapa meter langkah kami terhenti karena melihat anak itu,
Dia sedang duduk di sebuah bangku panjang dipinggir jalan, memakai kaos bergaris dan bercelana pendek, rambutnya sedikit panjang berwarna pirang, dengan bola mata berwarna biru.
Dia duduk menghadap kami dari arah berlawanan, seolah dia tau saya dan dewi akan melewati jalan itu.

“hay “
Dia mengucapkan salam kepada kami, seolah sudah mengenal kami lama.
Dan begitu melihatnya, saya paham.. anak ini sangat butuh pertolongan ........


Sumber Kaskus

Comments

Popular Posts